Tweet |
Mata
Kuliah : -
Judul : Indonesia sebagai Masyarakat
Majemuk 2
Jumlah : 11 halaman
Tingkat : Pelajar/Mahasiswa/Umum
Kode :
Download:
Gambaran Isi:
BAB I
PENDAHULUAN
Sulit dipungkiri, Indonesia ditinjau
dari aspek manapun merupakan sebuah bangsa yang majemuk. Ini terlebih jika
dikontrakan dengan bangsa-bangsa lain seperti Jepang, Korea, Thailand, ataupun
Anglo Saxon (Inggris). Kemajemukan ini tampak dalam manifestasi kebudayaan
bangsa Indonesia yang tidak “satu”. Budaya Indonesia dapat dengan mudah dipecah
kedalam budaya Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, atau pun Toraja, sebagai misal.
Kemajemukan juga termanifestasi dalam
masalah agama, lokasi domestik, tingkat ekonomi ataupun perbedaan-perbedaan
sikap dalam politik. Sikap politik, secara khusus, paling mudah menampakkan
diri ke dalam bentuk partai-partai politik yang bervariasi dan hidup berkembang
di bumi Indonesia.
Ciri dari masyarakat majemuk adalah
secara atruktural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse. Ia kurang
mengalami perkembangan dalam hal sistem nilai atau konsesur yang disepakati
oleh seluruh anggota masyarakat. Kurang pola ditandari oleh berkembanganya sistem
nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan
penganutan peranggotanya masing-masing secara tegar dalam tebentuknya yang
relative murni serta sering timbulnya konflik-konflik sosial. Masyarakat
majemuk biasanya tersegmentasi kedalam kelompok yang punyai sub kebudayaan yang
berbeda.
Sebab itu, merupakan suatu kajian
menarik guna melihat seperti apa manifestasi kemajemukan struktur masyarakat
Indonesia ini. Kemudian penelaahan akan dilakukan seputar kelebihan serta
keemahan dari struktur majemuk masyarakat Indonesia ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Keanekaragaman kultur Indonesia
Selaku pisau nalisa, perlu terlebih
dahulu dibedah pengertian dari Keanekaragaman kultur “Mutukultur”. Kajian ini
mengenai masyarakat majemuk signifikan terutama didalam masyarakat yang memang
terdiri atas aneka pelapisan sosial dan budaya yang satu sama lain saling
berbeda. Indonesia, sebab itu, mengembangkan slogan Bhineka Tunggal Ika
(berbeda-beda tetapi tetap satu). Slogan ini bersifat filosofis politis. Oleh
sebab itu tanpa adanya unsur pemersatu, akan mudah kiranya memecah belah kohesi
politik masyarakat yang mendalami sekujur kepulauan nusantara ini.
Mengenai keanekaragaman kultur ini,
Bhikhu Parekh membedakannya menjadi 3 yaitu : (1) Keanekaragaman Subkultural,
(2) Keanekaragaman Perspektif, dan (3) Keanekaragaman Komunal. Ketiga
pengertian mengnai keanekaragaman ini memiliki dampak berbedanya titik analisis
atas kajian keanekaragaman atau multikultur yang dilakukan.
1.
Keanekaragaman Subkultural
Menurut Parekh, Keanekaragaman
subkultural adalah sutu kondisi dimana para anggota masyarakat memiliki satu
kebudayaan umum yang luas dianut, beberapa diantara mereka menyakinkan
keyakinan dan praktek yang berbeda berkenaan dengan wilayah kehidupan tertentu
atau menempuh cara hidup mereka sendiri yang relative sangat berbeda.
Kini, kelompok-kelompok miskin
urban, “pun” kaum waria, gay, lesbian, dan kelompok-kelompok yang oleh
masyarakat umum disebut “menyimpang” merupakan wujud dari keanekaragaman
subkultural ini. Termasuk ke dalam contoh ini adalah Komunitas Lia Eden, kelompok-kelompok
‘sempalann” agama mainstream.
2.
Keanekaragaman Perspektif
Manurut Parekh, Keanekaragaman
perspektif adalah suatu kondisi dimana beberapa anggota masyatakat sangat
krisis terhadap beberapa prinsip atau nilai-nilai sentral kebudayaan yang berlaku
dan berusaha untuk menyatakannya kembali disempanjang garis kelompok yang
sesuai. Gerakan-gerakan Feminis dan emansipasi perempuan merupakan perwakilan
dari keanekaragaman perspektif. Kemudian isu-isu pembentukan masyarakat madani
di Indonesia, termasuk ke dalamnya isu-isu pembentukan Negara Islam atau Negara
Pancasila, mewakili Keanekaragaman Perspektif ini.
3.
Keanekaragaman Manual
Terakhir, Keanekaragaman Kamunal
adalah suatu kondisi sebagian besar masyarakat yang mencakup beberapa komunitas
yang sadar diri dan terorganisasi dengan baik. Mereka menjalankan dan hidup
dengan sistem kayakinan dan praktek yang berlainan antara kelompok satu dengan
kelompok lainnya.
Misal dari Keanekaragaman Komunal
ini adalah para imigran yang baru tiba, komunitas-komunitas Yahudi di Eropa dan
Amerika, kaum Gypsi, masyarakat Amish, kelompok-kelompok cultural yang
berkumpul secara territorial seperti kaum Basque di Spanyol. Di Indonesia asuk
ke dalam kelompok ini misalnya kawasan-kawasan Perinan (hunian komunitas Cina),
wilayah-wilayah yang dihuni suku-suku bangsa di luar wilayahnya (komunitas
Batak di Jakarta dan Bandung, misalnya).
Bahasa atas tiga pengertian
keanekaragaman ini membawa kita pada pertanyaan, kearah mana keanekaragaman
Indonesia hendak dialamatkan? Asumsi penelitian akan keanekaragaman Indonesia biasanya
langsung ditunjukan pada hal-hal seperti keragaman agama, bahasa, suku bangsa,
dan wilayah domisili berdasar kepulauan tempat tinggal. Namun, ketika
diperhadapkan pada pembagian pengertian keanekaraman menurut Parekh ini, perlu
dilakukan suatu pemilahan yang tepat atas kajian kemajemukan Indonesia
selanjutnya.
Kemajemukan di Indonesia
Berdasar argumentasi
Parekh, multikulturalisme di Indonesia sesungguhnya lebih kompleks ketimbang
Cuma membedakan aspek kesukubangsaan saja. Masalah kesukubangsaan ini
lambat-laun mengalami perubahan makna. Sebagai missal, Yusuf Kalla (saat
tulisan dibuat adalah wapres RI) yang orang Makassar menikah dengan Mufidah
Kalla yang berasal dari Sumatera Barat. Kemungkinan, Yusuf Kalla relative mudah
mengidentifikasi diri selaku “orang Makassar” yang mempraktekkan budaya
“Makassar.” Demikian pula istrinya, mengidentifikasi diri dan mempraktekkan
budaya Sumatera Barat. Namun, bagaimana halnya dengan keturunan mereka? Apakah
mereka mengidentifikasi diri selaku “orang Makassar”, “orang Sumatera Barat”,
ataukah “orang baru” yang …..Read
More
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
Dalam masyarakat majemuk dengan
demikian ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan politik yang dikukuhkan
sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial yang membedakan mereka yang
tergolong sebagai dominant yang menjadi lawan dari yang minoritas. Dalam
masyarakat Hindi Belanda, pemerintahan nasional atau penjajahan mempunyai kekuatan
militer dan polisi yang dibarengi dengan kekuatan hukum untuk memaksakan
kepentingan-kepentingannya, yaitu mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia.
Dalam struktur hubungan kekuatan yang berlaku secara nasional, dalam penjajahan
hindia belanda terdapat golongan yang paling dominant yang berada pada lapisan
teratas, yaitu orang Belanda dan orang kulit putih disusul oleh orag Cina,
Arab, dan Timur asing lainnyam dan kemulian yang terbawah adalah mereka yang
tergolong pribumi. Mereka yang tergolong pribumi digolongkan lagi menjadi yang
tergolong telah mengenal peradaban dan mereka mengenal peradaban atau yang
masih primitif. Dalam struktur yang berlaku nasional ini terdapat
struktur-struktur hubungan kekuatan dominant-minoritas yang bervariasi sesuai konteks-konteks
hubungan dan kepentingan yang berlaku.
Download: