Hadit’s Dha’if Sebab Pengguguran dan Cacat Keadilan

A. Hadits Dha’if
1. Pengertian Hadit’s Dha’if
Hadis dha’if adalah bagian dari hadis mardudu. Dari segi bahasa dha’if (الضَّعِيْفُ) berarti lemah lawan dari al-qawi (الْقَؤِيُّ)= kuat. Kelemahan hadis dha’if ini karena sanad dan matan-nya tidka memenuhi criteria hadis kuat yang diterima sebagai hujah. Dalam istilah hadis dha’if adalah :
هُوَ مَالَمْ يَجْمَعْ صِفَةَ بفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
Adalah hadis yang tidak menghimpun sifat hadis hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.
Atau definisi lain yang biasa diungkapkan mayoritas ulama :
هُوَ مَالَمْ يَجْمَعْ صَفَةَ الصَحِيْحِ وَالْحْسَنِ
Hadis yang tidak menghimpun sifat hadis shahih dan hasan.
Jadi hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi sebagian atau semua persyaratan hadis hasan atau shahih, misalnya sanad-nya tidak menyambung (muitashil), para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dlama sanad atau matan (syadzdz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘illah) pada sanad dan matan.

2. Contoh Hadis Dha’if
Hadis yang diriwayatkan oleh At-Tarmizi melalui jalan Hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari nabi, bersabda:
مَنْ أتَى حَأئِضًا أَوِ امْرَأةً مِ،ْ دُبُرٍ أوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Barang siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan kapada Nabi Muhammad.
Dalam sanad hadis di atas terdapat seorang dha’if yaitu Hakim AL-Atsram yang dinilai dha’if oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu hajar dalam Taqrib At-Tahzhib memberikan komentar : فِيْهِ لَيِّنٌ = padanya lemah.

3.Hukum Periwayatan Hadis Dhaif
Hadis dha’if tidka identik dnegan hadis mawadhu (hadis palsu). Di antara hadis dha’if terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedang hadis mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadis dha’if sekalipun tanpa menjelaskan kedha’ifannya dengan dua syarat, yaitu :

a.Tidak berkaitan dnegan akidah seperti sifat-sifat Allah.
b.Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi masalah mau’izhah, targhib wa tarhib (hadis-hadis tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadis dha’if, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenaranya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul (yang meragukan (tamridh), misalnya : رُوِيَ = diriwayatkan = نُقِلَ dipindahkan فِيْمَايُرْوي = pasa sesuatu yang diriwayatkan جَاءَ = datang. Periwayatan dha’if dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).
Berbeda dalam meriwayatkan hadis shahih, maka harus menggunakan bentuk kata aktif yang menyakinkan, misalnya : ….قَالَ رسُوْلُ اللهِ صلىّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ = Rasulullah, bersabda…. Makruh meriwayatkannya dengan menggunakna bentuk kata pasif seperti hadis dha’if. Kecuali jika hadis dha’if diriwayatkan dengan menyebutkan sanad, sebaiknya dengan menggunakan bentuk kata aktif da meyakinkan ketika dikonsumsi oleh kalangan ahli ilmu dan untuk kalangan orang umum boleh dengan menggunakan bentuk pasif tidak sebagaimana tapa isnad.

download isinya disini